Senin, 03 Januari 2011

Gandrung Banyuwangi

Kosakata “Gandrung” punya arti yang sangat luas sekali. Dapat diartikan: tergila-gila, jatuh cinta, memikat, atau menatap. Oleh karena itu sebagai bentuk suatu kesenian, Gandrung atau tari Gandrung, adalah “Suatu tontonan yang membuat setiap orang yanf menatapnya menjadi tergila-gila dan jatuh cinta”. Kesenian Gandrung mendapat pengakuan nasional sebagai milik masyarakat Using dan merupakan warisan nenek moyang dan sekaligus sebagai aset budaya bangsa.
Penampilan kesenian Gandrung diselenggarakan pada malam hari semalam suntuk sampai pagi. Dapat juga dipentaskan pada siang hari sesuai dengan kebutuhan acara tertentu, seperti pada upacara petik laut atau pada upacara lain.


Fungsi kesenian Gandrung atau tari Gandrung sebagai media hiburan untuk suatu perhelatan atau untuk keperluan lain dalam suatu upacara. Kedudukan penari Gandrung berfungsi sebagai media bagi yang punya hajat perhelatan dalam menjamu tamu-tamunya, yaitu lewat bentuk tarian sesuai dengan gendingnya.Dalam setiap penampilan, penari Gandrung harus mampu membawakan beberapa gending menurut permintaan.
Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan).Tari Gandrung erat kaitannya dengan tari Seblang.Hal ini karena Gandrung merupakan perkembangan dari tari Seblang.Hanya perbedaan terlihat bahwa Seblang merupakan tarian yang bersifat sakral sedangkan tari Gand-rung merupakan hiburan atau pergaulan.

Tari Gandrung yang di bahas dalam artikel ini merupakan jenis seni tari yang berkembang di wilayah Banyuwangi dan menjadi kebanggaan masyarakat, terutama di masyarakat “Osing” sehingga lebih di kenal dengan sebutan Gandrung Banyuwangi. Tari Gandrung ini, keberdaannya terkait langsung dengan dua jenis seni pertunjukan yang disakralkan oleh sebagian masyarakat Osing di Banyuwangi, yakni “Sang Hyang” dan tari “Seblang” keduanya merupakan jenis tari yang disakralkan sehingga keterkaitannya dengan kegiatan upacara magis yang selalu diperingati setiap tahun oleh masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat “Osing”

Kedua jenis seni yang merupakan tarian kepercayaan dari agama Hindu, dengan mantra-mantranya dan upacara magis tertentu itu, maka dalam pertunjukannya lewat mantra-mantranya memanggil seorang dewi atau bidadari untuk turun ke dunia yang diwujudkan dengan menggunakan medium anak-anak, adalah digambarkan dengan menggunakan anak kecil sekitar umur ± 10 tahun. Anak yang dijadikan sebagai medium pertunjukan pada umumnya adalah anak laki-laki, kemudian seorang “pengundang” sambil membakar kemenyan yang asapnya ditiupkan dihadapan sang anak, sambil mengalunkan gending-gending, sesaat kemudian anak tersebut menjadi tidak sadarkan diri seperti orang gila. Dalam hal ini ia menari-nari sambil membawa sebilah keris yang ditusuk-tusukkan di bagian tubuhnya, namun anehnya dalam tubuh anak tersebut tidak ada bekas luka-luka sedikitpun. Kejadian semacam ini juga terdapat dalam tari Seblang, tapi mediumnya anak perempuan kecil yang umurnya sama dengan tarian sang Hyang. Dalam menari anak tersebut juga memegang sebilah keris tetapi pada saat tidak sadar keris tersebut tidak untuk menusuk pada bagian tubuhnya, melainkan dimainkannya bagikan kipas.

Dengan demikian tari Gandrung jika ditinjau dari latar belakang sejarahnya merupakan, perkembangan dari jenis tarian yang berbentuk tarian ”sakral” menjadi “profaan performance”. Di jelaskan oleh Hendyck Suwardi (1984) bahwa, dalam perkembangan tari Seblang menjadi tari Gandrung ini terjadi secara dramatis, yaitu ketika anak gadis kecil bernama Semi jatuh sakit yang cukuplama tidak sembuh-sembuh, maka sang ibu bernama Nyi Midah, ia sebagai pawing (pengundang) dalam tari Seblang, seorang anak bernama Semi yang ketika itu baru berumur ± 10 tahun, maka ibunya mempunyai nadzar dalam bahasa Banyuwangian,

“Wis tik kadung siro mari sun dadekaken Gandrung, kadung siro sing mari yo osing”

artinya “sudah nak kalau kamu sudah sembuh nanti saya jadikan kamu Seblang, tetapi kalau tidak sembuh ya tidak”(Suwardi, 1984:15)

Ternyata yang terjadi adalah anak tersebut berangsur-angsur sembuh dari sakitnya sehingga untuk melepaskan “nadzar”nya maka Nyi Midah mengundang keluarganya untuk menyaksikan dan menyepakati.Sehingga kemudian si Semi tersebut di beri pakian Seblang dan di beri mantra serta di iringi dengan gending atau nyanyian yang biasa di pakai dalam pertunjukan. Pada saat itulah Semi menjadi penari Seblang dengan gaya yang lincah padahal sama sekali

belum pernah belajar menari, dengan kekuatan ghaib ia menari layaknya penari profesional dan tarian itu di namakan tari Gandrung yang kemudian di kenal dengan tari Gandrung Banyuwangi.

Tradisi Gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari Gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tarian Gandrung sudah ada sejak lama, namun yang membawakannya adalah seorang laki-laki yang gaya dan penampilannya seperti seorang wanita, dan berkunjung kerumah-rumah, juga pada saat ada orang-orang sedang berkumpul disitulah ia datangi, kemudian di bimbingnya. Setelah itu muncullah penari Gandrung perempuan yang diketahui bernama Nyi.Midah untuk menggantikan Gandrung laki-laki ketika itu sudah di pakai lagi.Sehingga saat itulah Nyi. Midah menjadi terkenal sebagai Gandrung, yang akhirnya dimana-manamendapatkan undangan sebagai penari Gandrung.
Sebagaimana dijelaskan dalam ensiklopedi bahwa, Seni Tari, merupakan Seni menggerakkan tubuh secara berirama, biasanya sejalan dengan musik. Demikian juga dalam seni tari Gandrung juga merupakan seni tari dalam gaya gerakan-gerakannya itu dapat sekedar untuk dinikmati sendiri, pengucapan suatu gagasan atau emosi, atau penceritaan suatu kisah, dapat pula digunakan untuk mencapai keadaan semacam mabuk atau tak sadar bagi yang menarikannya bersama Gandrung yang sering disebut “mbeso” ini biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki.

Hal ini dijelaskan oleh Oemar Seno Aji bahwa: seni tari dalam gerakan-gerakan itu dapat sekedar untuk dinikmati sendiri, pengucapan suatu emosi, atau penceritaan suatu kisah, dapat pula digunakan untuk mencapai keadaan semacam mabuk atau tak sadarkan diri bagi yang menarikannya (Ensiklopedi, 1984:3081).

Masyarakat menjadikan tari sebagai ciri pokok pada kehidupan (dalam hal ini tampak pada seni tari Gandrung di masyarakat Osing), dan dalam kebudayaan pada umumnya.Dari jaman dahulu seni tari telah memainkan peran dalam upacara-upacara kerajaan, akar tari barat populer dewasa ini pada umumnya juga demikian.Tari dilakukan dalam perayaan penting untuk masyarakat maupun pribadi. Masyarakat Osing primitif percaya pada daya magis tari, seperti tampak pada tari kesuburan dan hujan, tari eksorsisme (Jawa: ruwatan) dan kebangkitan, tari perburuan atau perang. Tari keagamaan yang berhubungan dengan penyembahan berhala, sejak abad ke-12 telah disisihkan atau dialihkan pada fungsi yang lain sejalan dengan perkembangan masyarakat setelah mendapat pengaruh agama Islam pada waktu itu.

Tari tradisional Gandrung Banyuwangi bersumber dari perkem-bangan tari Seblang yang merupakan berlatar belakang pada keperca-yaan /keagamaan, dengan sedikit saja yang bertradisi tarian sosial. Menurut Yuni Nuraini (Guru Seni), Tari Gandrung merupakan

tarian komunal sebagai lambang yang kuat untuk kerja sama kelompok dan saling hormat mendasari tradisi-tradisi dalam tarian rakyat (Ing: folkdance).

Sebagaimana di contohkan; Di Barat balet klasik berasal dari tarian istana pada abad ke-15, dan ke-16 di Italia dan Prancis, yang semakin diolah menjadi pertunjukan sepenuhnya.Dalam abat ke-19 berkembang tarian waltz, dimana tarian sosial mencapai puncak popularitas.Gaya-gaya abad ke-20 yang dikembangkan oleh irama musik pop yang sinkopik, mejadi semakin bebas dan tak terhambat konvensi, sering mirip dengan tarian primitif.Perubahan menyolok ialah berupa penciptaan secara sengaja dan promosi perdagangan atas gaya-gaya tari itu.
Tari Gandrung merupakan salah satu bentuk kesenian yang paling tua setelah tari Seblang.Seni gerak ini semula tercipta sebagai ekspresi dari berbagai rasa cinta seseorang yang terhadap lawan jenisnya yang diwujudkan dalam bentuk yang sangat sederhana dan jauh dari pengertian indah. Sebagaimana menurut A.M. Munardi, penari dari Flores, juga menjelaskan bahwa: “Tari merupakan salah satu bentuk kesenian yang laing tua. Seni gerak ini semula tercipta sebagai ekspresi dari berbagai rasa yang hinggap di kalbu manusia, sederhana dan jauh dari pengertian “indah”.

Demikian juga dalam seni tari Gandrung, sejalan dengan perkembangan peradaban, Gandrung sedikit demi sedikit memperoleh bentuknya menjadi tarian, yaitu gerakan-gerakan badan yang teratur dalam ritme dan ekspresi. Terjadinya perkembangan tari gadrung sangat mendapat dukungan dari masyarakat “Osing” Banyuwangi, sebagaimana tari “Seblang” terjadinya transvestisme dalam seni pertunjukan disebabkan oleh masalah etika dan bukan estetika, (Kompas: 2002 ) ketika Gandrung Banyuwangi mengawali sejarahnya penarinya pun laki-laki berdandan dan bertindak sebagai wanita.

Gandrung Marsam misalnya, masih dikenal orang sampai sekitar tahun 1960-an, dalam usia 40 tahun masih tetap ngamen. (wawancara dengan P. Sahuni Dinas Pariwisata Banyuwangi).Perhatian masyarakat Banyuwangi terhadap Gandrung sangat tinggi, sebagai salah satu diantara kesenian yang harus dikembangkan.Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Soegeng Tokio (1984:15) bahwa, “Martabat suatu bangsa tercermin darim peradaban dan budaya yang mewarnainya. Satu unsur yang melekat di dalamnya antara lain adalah bentuk dari kesenian sebagai salah satu dari manifestasi spektrum kepribadian dan kedalaman rasa pemiliknya. Hidup dan berkembangnya semata-mata ada di tangan masyarakat pendu-kungnya”.

Upaya masyarakat Banyuwangi dalam mengembangkan kebudayaan, yang semula muncul sebagai penari lewat pendidikan ekstra kurikuler di sekolah, yang terbatas pada tarian kontemporer yang tergolong kreasi baru, namun kini dikembangkan melalui pendidikan formal dan bahkan sudah berdiri Sekolah Tinggi Seni Tari Blambangan di Banyuwangi. Tanggapan masyarakat terhadap tari  Gandrung tersebut dapat dilihat dari banyaknya berdiri sanggar-sanggar tari ternyata jumlah yang tertarik untuk mengikuti juga lebih besar. Tanggapan masyarakat yang demikian besar ini semata-mata ingin mempertahankan bahwa Banyuwangi merupakan sebutan kotaGandrung, sehingga dengan demikian kota Gandrung tetap dipertahankan dengan segala konsekwensinya. Budaya Blambangan (Kab. Banyuwangi) sejak dulu memiliki beragam jenis, bentuk dan spesifikasi yang berbeda dengan daerah lainnya. Karena merupakan hasil alkulturasi dari budaya daerah lain.
Upacara bersih desa dengan menggunakan tarian Seblang tetap dipertahankan dan Gandrung sebagai hasil perkembangannya menjadi tarian yang bernuansa sosial. Dalam upaya untuk lebih mengembangkan “Gandrung” Banyuwangi Pemerintah Daerah dengan menggalakkan tahun kunjungan wisata yang dimulai sejak tahun 2000 dengan telanya BanyuwangiWis Njenggirat Tangi”.Banyuwangi sudah menunjukkan membangun kesinambungan kebudayaan sepanjang sejarah Blambangan (wawancara Bapak Sri Adi Oetomo “Pemerhati” Sejarah Blambangan).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda